Opini

Mewujudkan Pemilu yang Inklusi Bagi Disabilitas

 

Pemilihan umum (Pemilu) merupakan pilar utama demokrasi yang menjamin hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam menentukan arah kepemimpinan dan kebijakan publik. Namun, dalam praktiknya, belum semua kelompok masyarakat dapat mengakses dan menikmati hak politik tersebut secara setara. Salah satu kelompok yang masih menghadapi berbagai tantangan adalah penyandang disabilitas. Oleh karena itu, mewujudkan Pemilu yang inklusi bagi disabilitas menjadi keharusan dalam negara demokratis. Seperti yang diungkapkan oleh Iris Marion Young (2000) dalam Inclusion and Democracy menyatakan bahwa demokrasi yang adil harus mengikutsertakan kelompok yang terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan politik. Menurutnya, kesetaraan politik tidak cukup diwujudkan melalui aturan formal, tetapi harus memperhatikan hambatan struktural yang dialami kelompok tertentu.

Lebih lanjut Jack Donnelly (2013) menjelaskan bahwa hak politik merupakan bagian dari hak asasi manusia universal yang melekat pada setiap individu tanpa diskriminasi. Negara berkewajiban menjamin pemenuhan hak tersebut secara efektif, bukan hanya normatif. Menurut Donnelly, kegagalan negara menyediakan akses Pemilu bagi penyandang disabilitas merupakan pelanggaran terhadap prinsip equality and non-discrimination dalam HAM. Dengan demikian, Pemilu inklusif adalah konsekuensi logis dari negara hukum yang menjunjung HAM.

Selain itu, hal ini termaktub dalam beberapa aturan konstitusional Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti dalam Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak warga negara untuk berpartisipasi politik secara setara tanpa diskriminasi. Prinsip ini tercermin dari Pasal 27, Pasal 28D, dan prinsip persamaan di depan hukum dan pemerintahan. Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menegaskan bahwa penyelenggaraan pemilu harus memberikan kesempatan yang sama kepada penyandang disabilitas untuk memilih dan dipilih, serta berpartisipasi dalam setiap tahapan Pemilu melalui penyediaan aksesibilitas

 

serta dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menyatakan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak yang sama tanpa diskriminasi termasuk hak atas akses informasi, pelayanan, dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat serta pemerintahan termasuk politik. Pasal 13 UU No. 8/2016 secara khusus menjamin kesempatan yang sama dalam partisipasi politik.

Dalam konteks Pemilu,penyandang disabilitas sering kali terpinggirkan akibat keterbatasan akses dan stigma sosial. Oleh karena itu, Pemilu inklusif merupakan syarat mutlak agar demokrasi tidak bersifat eksklusif dan elitis. Pemilu yang inklusif berarti memastikan seluruh warga Negara tanpa terkecuali, dapat berpartisipasi secara penuh, bebas, dan bermartabat. Salah satu tantangan utama dalam penyelenggaraan Pemilu inklusif adalah aksesibilitas. Masih banyak tempat pemungutan suara (TPS) yang belum ramah disabilitas, seperti tidak tersedianya jalur kursi roda, bilik suara yang terlalu sempit, atau ketinggian kotak suara yang tidak sesuai. Selain itu, akses informasi Pemilu juga sering kali belum disediakan dalam format yang mudah diakses, seperti huruf braille, bahasa isyarat, atau audio untuk penyandang disabilitas netra dan rungu.

Selain faktor fisik dan teknis, tantangan lain yang tidak kalah penting adalah stigma dan kurangnya pemahaman masyarakat, termasuk penyelenggara Pemilu, terhadap hak dan kemampuan penyandang disabilitas. Masih terdapat anggapan bahwa penyandang disabilitas tidak mampu menentukan pilihan politik secara mandiri. Pandangan ini tidak hanya keliru, tetapi juga melanggar prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi.

Untuk mewujudkan Pemilu yang inklusi, diperlukan komitmen dan kerja sama dari berbagai pihak. Penyelenggara Pemilu harus memastikan seluruh tahapan Pemilu, mulai dari pendataan pemilih, sosialisasi, hingga pemungutan dan penghitungan suara, dirancang dengan prinsip inklusivitas. Pelatihan bagi petugas Pemilu terkait pelayanan ramah disabilitas juga menjadi langkah penting agar hak pilih dapat digunakan secara nyaman dan aman.

Di sisi lain, partisipasi aktif organisasi penyandang disabilitas sangat dibutuhkan dalam perencanaan dan evaluasi Pemilu. Keterlibatan mereka akan

 

membantu memastikan kebijakan dan fasilitas yang disediakan benar-benar sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Pemerintah dan masyarakat juga perlu terus meningkatkan kesadaran bahwa Pemilu inklusif bukanlah bentuk keistimewaan, melainkan pemenuhan hak asasi manusia.

Dengan menciptakan Pemilu yang inklusi bagi disabilitas, demokrasi tidak hanya menjadi milik mayoritas, tetapi juga ruang yang adil dan setara bagi semua. Pemilu yang ramah disabilitas adalah cerminan dari demokrasi yang matang, berkeadilan, dan berkeadaban, serta menjadi langkah nyata menuju masyarakat yang inklusif dan berkeadilan sosial.

   Oleh Anzhar Ishal Afryand M.Pd (Ketua KPU Kota Cimahi)

 

 

 

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 34 kali