Opini

Menakar Efektivitas Pelaksanaan Pemilihan Serentak

Menakar Efektivitas Pelaksanaan Pemilihan Serentak: Dipilih DPRD atau Tetap Dipilih Langsung?

Oleh Anzhar Ishal Afryand, M.Pd

 

Wacana mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah kembali mengemuka. Di tengah evaluasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang dinilai mahal dan rawan konflik, muncul kembali gagasan agar kepala daerah dipilih oleh DPRD, bukan secara langsung oleh rakyat. Perdebatan ini penting, tetapi harus ditempatkan secara jernih, apakah perubahan sistem benar-benar meningkatkan kualitas demokrasi dan pemerintahan daerah? atau justru menjadi kemunduran demokrasi?.

Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu capaian penting reformasi. Melalui mekanisme ini, rakyat tidak hanya menjadi objek kekuasaan, tetapi subjek yang menentukan pemimpinnya. Kepala daerah yang terpilih langsung memiliki legitimasi politik yang kuat karena mandat diperoleh langsung dari pemilih. Dalam teori demokrasi, legitimasi tersebut menjadi modal utama bagi akuntabilitas dan responsivitas pemimpin terhadap kebutuhan publik.

Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa pemilihan kepala daerah langsung juga menyisakan banyak persoalan. Biaya penyelenggaraan yang besar, maraknya politik uang, hingga konflik horizontal sering dijadikan alasan utama untuk mengkritisi sistem ini. Dalam praktiknya, tingginya ongkos politik kerap mendorong kepala daerah terjerumus pada praktik korupsi demi mengembalikan modal politik yang telah dikeluarkan.

Di sisi lain, pemilihan kepala daerah melalui DPRD dianggap lebih efisien dan minim konflik. Negara tidak perlu mengeluarkan biaya besar, dan stabilitas politik daerah  dinilai  lebih terjaga. DPRD sebagai  lembaga perwakilan rakyat

 

secara konstitusional memang memiliki legitimasi untuk menjalankan fungsi politik tersebut. Namun, persoalannya bukan sekadar soal efisiensi.

Pemilihan melalui DPRD menyimpan risiko besar terjadinya transaksi politik di ruang tertutup. Ketika keputusan hanya berada di tangan segelintir elite, kepentingan rakyat mudah tersisih oleh kompromi politik dan kepentingan partai. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa mekanisme ini rawan oligarki dan melemahkan kontrol publik. Kepala daerah yang terpilih pun lebih merasa bertanggung jawab kepada elite politik dibandingkan kepada rakyat.

Jika efektivitas dimaknai semata-mata sebagai efisiensi anggaran dan stabilitas jangka pendek, maka pemilihan oleh DPRD bisa tampak lebih unggul. Namun, jika efektivitas dipahami sebagai kemampuan sistem melahirkan pemimpin yang legitimate, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan publik, maka Pilkada langsung tetap relevan. Demokrasi memang mahal, tetapi ketidakdemokratisan sering kali jauh lebih mahal dalam jangka panjang.

Alih-alih mundur ke sistem pemilihan tidak langsung, yang lebih mendesak adalah memperbaiki kualitas Pemilihan kepala daerah langsung. Pengawasan pendanaan politik harus diperketat, politik uang ditindak tegas, dan pendidikan politik masyarakat diperkuat. Reformasi partai politik juga menjadi kunci agar calon kepala daerah yang diusung benar-benar berintegritas dan berkapasitas.

Pada akhirnya, pilihan sistem pemilihan kepala daerah harus berpijak pada kepentingan rakyat, bukan semata kepentingan elit atau pertimbangan teknis jangka pendek. Demokrasi lokal yang sehat memang tidak lahir dari sistem yang sempurna, tetapi dari komitmen bersama untuk terus memperbaikinya. Pilkada langsung, dengan segala kekurangannya, masih menjadi instrumen paling rasional untuk menjaga kedaulatan rakyat di tingkat daerah.

 

Biodata penulis:

Anzhar Ishal Afryand Ketua KPU Kota Cimahi

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 38 kali