Opini

Media Sosial Sebagai Keran Informasi Publik Pemilu dan Pemilihan 2024

Oleh: Charly Siadari

Sekretaris KPU Kota Cimahi

Perkembangan teknologi informasi mendorong penyebaran informasi melalui beragam platform media sosial, seperti Instagram, Facebook, Twitter, YouTube, dan ragam media sosial lainnya. Media informasi yang bersifat satu arah seperti televisi dan koran semakin ditinggalkan seiring menjamurnya media digital ini. Keunggulan media baru ini terletak interaksi langsung di dunia maya, sehingga audiens atau publik dapat merespon balik secara langsung dan terjadi komunikasi dua arah.

Kehadiran media baru ini tentu juga menjadi tantangan bagi penyelenggara pemilu untuk dapat menyuguhkan media komunikasi yang memuat berbagai informasi kepemiluan yang dapat diakses oleh publik secara cepat, mudah dan dapat dipertanggungjawabkan. Terkait dengan hak publik untuk mendapatkan informasi tertuang dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Ketika keran informasi kepemiluan dibuka untuk publik, maka satu langkah untuk sosialisasi, edukasi, pendidikan masyarakat akan kesadaran berpolitik yang sehat, sangat diperlukan, sehingga diharapkan akan meningkatkan partisipasi masyarakat pada pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024.

Media sosial sangat tepat dipilih sebagai alat komunikasi kepada masyarakat karena mampu membuka ruang dialog yang memungkinkan terjadinya komunikasi interaktif (komunikasi dua arah) antara penyelenggara dan khalayak secara luas. Untuk itu, media sosial harus mendapatkan prioritas pengelolaan yang serius dan profesional. Ada unsur utama yang harus dipenuhi dalam pengelolaan media sosial, yaitu social engagement (hal-hal yang disukai publik). Menurut Yusran Darmawan, seorang Profesional Digital Strategis, follower (pengunjung) yang tinggi akan memperluas daya jangkau suatu informasi, sehingga semakin efektif pula informasi tersebut akan tersampaikan kepada masyarakat luas. Sebaik apapun penyuguhan informasi melalui media sosial, kalau tidak disukai publik (engagement rendah), maka jumlah follower akan rendah, dan penyampaian pesan tidak tercapai. Dengan demikian, sebagai lembaga formal, maka konten-konten yang dimuat di media sosial KPU harus bersifat informatif dan pengetahuan seperti untuk menyebarluaskan informasi sosialisasi regulasi, pendidikan pemilih, dan edukasi yang diharapkan dapat bermuara pada tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi. Untuk itu, pemberitaan kepemiluan harus dikemas dengan konten-konten digital yang memuat narasi berita, foto kegiatan, video, dan press release kegiatan KPU. Suatu keniscayaan ke depan bahwa peserta pemilu akan menggunakan media sosial sebagai media kampanye utama penyampaian visi dan misi sehingga khalayak dapat mengakses dengan mudah, tidak terbatas ruang dan waktu.

Guna menunjang efektivitas pengelolaan media sosial lembaga, dukungan penyediaan sarana dan prasana seperti perangkat komputer, jaringan internet yang kuat atau memadai, dan sumber daya manusia (SDM) di bidang pengelolaan media sosial yang mumpuni serta dukungan anggaran. SOP (Standard Operating Procedure) diperlukan bagi pengelola media sosial untuk mengatur alur konten-konten yang akan dipublikasikan, serta untuk meminimalisir risiko ketidaktepatan dalam pemberitaan. Keberadaan media sosial sebagai keran informasi masyarakat, dalam hal ini sebagai ujung tombak tersampaikannya informasi yang berkualitas kepada masyarakat.

Untuk itu, perlu untuk terus memperkuat tim media sosial dalam perencanaan strategi membangun komunikasi dengan memberikan pelatihan secara berkala, terutama dalam konteks pembuatan konten-konten yang menarik untuk pelayanan informasi kepada publik, sesuai dengan visi dan misi lembaga. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga formal tentu saja dalam memberikan layanan informasi kepada publik akan terikat dengan aturan. Sebagai contoh, website KPU akan menampilkan fitur-fitur yang sifatnya formal tentang regulasi, kegiatan-kegiatan rapat, koordinasi dan sosialisasi baik internal maupun eksternal yang berkaitan dengan kepemiluan. Sebagai lembaga formal untuk penyelenggaraan pemilu dan pemilihan sudah pasti akan menitikberatkan pada konten-konten yang resmi, bukan mengedepankan sisi entertainment saja. Tampilan visual yang menarik itu penting, tetapi jangan sampai mendominasi atas pesan yang disampaikan kepada khalayak, sehingga pesannya menjadi bias bahkan tidak tersampaikan kepada publik. Untuk itu, komunikasi internal tim media sosial yang kuat juga sangat diperlukan untuk membangun layanan informasi yang berkualitas kepada khalayak luas sehingga tercipta kepercayaan masyarakat (public trust).

Keunggulan penggunaan media sosial sebagai keran informasi publik di era digital saat ini adalah daya penetrasinya di kalangan anak muda yang mendominasi pengguna media baru ini di Indonesia. Namun, seiring derasnya arus berita-berita di media sosial, konten-konten negatif (berita hoaks) yang sifatnya provokatif kerap tidak dapat terhindarkan. Untuk itu, media sosial lembaga harus hadir menjadi saluran terpercaya bagi pengguna. UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik telah mengatur terkait informasi yang mengandung unsur pelanggaran, seperti hate speech (ujaran kebencian), blasphemy (unsur SARA/Suku Agama Ras), fitnah, dan hasutan yang dapat dijerat sanksi hukum. Aturan ini dapat dilengkapi secara internal dengan upaya antisipasi atas keamanan akun media sosial. Kelengkapan ini mencakup perlindungan dan pengawasan atas informasi yang dipublikasikan oleh penyelenggara pemilu kepada khalayak, siapa yang memegang posisi pengawasannya, serta langkah-langkah antisipatif seperti apa untuk menangkal berita-berita hoaks dan kejahatan peretasan akun media sosial penyelenggara pemilu, terutama yang potensial menjadi intens terjadi menjelang pemilu. (*)

 

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 1,413 kali