Opini

MEWUJUDKAN PEMILIHAN SERENTAK KOTA CIMAHI TAHUN 2024 YANG “SUGEMA”

Oleh Anzhar Ishal Afryand, M.Pd Ketua KPU Kota Cimahi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak merupakan momen penting dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Di tahun 2024 ini, sebanyak 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota melaksanakan pemilihan serentak termasuk Kota Cimahi. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah salah satu aspek fundamental dalam sistem demokrasi di Indonesia. Melalui pilkada, masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin yang akan mengelola daerahnya, sehingga menjadi momen yang sangat penting dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. KPU Kota Cimahi sebagai salah satu Lembaga penyelenggara pemilu yang tentunya memiliki tugas, wewenang dan kewajiban menggelar pelaksanaan pemilihan serentak 2024 di Kota Cimahi, dengan mengusung Tagline “SUGEMA”. Dalam pelaksanaannya KPU Kota Cimahi memiliki keyakinan dan optimisme dapat menggelar dan melaksanakan setiap tahapantahapan pemilihan serentak 2024 berjalan sesuai aturan dan jadwal yang telah ditetapkan. Tagline SUGEMA merupakan kepanjangan dari SUKSES, GEMBIRA, MANDIRI. Sukses sendiri memiliki makna bahwa salah satu indikator suksesnya Pilkada adalah tingginya tingkat partisipasi masyarakat. Dalam pelaksanaan kali ini, banyak daerah mencatatkan angka pemilih yang signifikan. Hal ini menunjukkan kesadaran politik yang semakin meningkat di kalangan warga. Dengan berbagai upaya sosialisasi dan pendidikan pemilih, masyarakat antusias untuk menggunakan hak suaranya, menjadikan pilkada lebih representatif dan akuntabel. Gembira, memiliki makna bahwa akan adanya suasana lebih gembira dan meriah di tempat pemungutan suara (TPS). Masyarakat datang dengan semangat dan menggunakan hak pilihnya dengan penuh rasa tanggung jawab. Dan terakhir Mandiri memiliki makna bahwa kemandirian lembaga penyelenggara pemilu merupakan salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi. Di Indonesia, lembaga seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) diamanatkan untuk menjalankan tugasnya secara mandiri dan netral. Prinsip kemandirian adalah fondasi yang mendukung keberhasilan penyelenggaraan pemilu yang demokratis dan berkualitas. Dengan memegang teguh prinsip-prinsip tersebut, lembaga penyelenggara pemilu dapat berfungsi secara efektif dan membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi di Indonesia. Kemandirian ini sangat penting untuk memastikan bahwa suara rakyat didengar dan dihargai dalam setiap proses politik. Selain itu SUGEMA dalam istilah sunda memiliki makna lainnya yakni, merujuk pada keadaan yang penuh kebahagiaan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Kata ini sering digunakan untuk menggambarkan situasi di mana seseorang atau komunitas merasa puas dan berbahagia dengan apa yang dimiliki. Selain itu, sugema juga bisa mencakup perasaan syukur atas rezeki dan berkah yang diterima. Dengan pelaksanaan pilkada serentak di Kota Cimahi ini, KPU kota Cimahi tentunya mengharapkan akan lahirnya para calon pemimpin yang benar-benar dapat membawa semangat sugema bagi seluruh masyarakat kota cimahi. Kota yang maju, unggul dan Makmur menjadi harapan-harapan yang tentunya di idam-idamkan oleh seluruh masyarakat di Kota Cimahi

MEMBANGUN BUDAYA POLITIK PARTISIPAN DALAM PEMILIHAN SERENTAK 2024 DI KOTA CIMAHI

Oleh Anzhar Ishal Afryand, M.Pd Ketua KPU Kota Cimahi Cimahi, Kurang dari 108 hari lagi pelaksanaan perdana pemilihan serentak Gubernur dan wakil Gubernur, Bupati dan wakil bupati serta Walikota dan Wakil walikota akan dilaksanakan, tidak terkecuali di Kota Cimahi. Para bakal calon mulai gencar mempromosikan diri melalui berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik bahkan spanduk-spanduk dan baliho sudah terlihat bersebaran di sudutsudut kota. Pun dengan partai politik, para pimpinan partai politik di daerah sudah memulai dan membangun komunikasi politik dengan partai politik lainnya guna menemukan kecocokan dalam pengusungan calon walikota dan wakil walikota dalam pemilihan serentak 2024. Hal ini menjadi sinyal positif bagi iklim demokrasi di daerah khususnya kota Cimahi. Mengingat di beberapa tahun sebelumnya dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah mengalami “fenomena pasangan calon melawan kotak kosong atau munculnya calon tunggal yang tidak memiliki saingan”. Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi tentu fenomena tersebut menurunkan esensi atau value dari pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Dalam praktiknya, pelaksanaan pemilihan merupakan perwujudan dari bentuk kedaulatan rakyat, dimana rakyat diberikan kesempatan secara langsung dalam menentukan siapa sosok calon pemimpin di daerahnya. hal ini sejalan dengan teori kedaulatan rakyat yang dikemukakan oleh John Locke bahwa kekuasaan negara berasal dari rakyat. Sehingga dapat dipahami bahwa rakyat memiliki andil yang sangat besar dalam menentukan siapa yang layak dan pantas diberikan mandat untuk memegang kekuasaan. Apabila dilihat lebih jauh pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Indonesia merupakan salah satu pilar utama dalam sistem demokrasi nasional. Proses ini tidak hanya menentukan siapa yang akan memimpin daerah, tetapi juga mencerminkan budaya politik partisipan di tingkat lokal. Budaya politik partisipan dalam Pilkada di Indonesia menunjukkan bagaimana warga negara terlibat dalam proses politik di tingkat lokal. Ini mencakup berbagai bentuk partisipasi, dari memilih, menyebarluaskan informasi tentang calon, hingga terlibat dalam kampanye. Gabriel Almond dan Sidney Verba dalam "The Civic Culture" (1963), mendefinisikan budaya politik partisipan sebagai "sebuah pola perilaku politik di mana individu secara aktif terlibat dalam proses politik, tidak hanya dengan memberikan suara dalam pemilihan umum, tetapi juga dengan berpartisipasi dalam kegiatan politik lainnya, seperti diskusi politik, kampanye, dan organisasi politik." Mereka menekankan bahwa budaya politik partisipan melibatkan keterlibatan yang lebih mendalam dalam proses politik dan bukan hanya sekedar kepatuhan atau passivity terhadap sistem politik. Salah satu bentuk partisipasi utama dalam pemilihan (Pilkada) adalah memberikan suara. Tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada seringkali lebih rendah dibandingkan dengan pemilihan umum nasional, tetapi tetap menunjukkan antusiasme masyarakat yang tinggi. Partisipasi pemilih bisa dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kemudahan akses ke tempat pemungutan suara, kualitas kandidat, dan kesadaran politik masyarakat. Selain itu pendidikan politik yang fokus pada isu-isu lokal dan kandidat dapat mempengaruhi seberapa banyak masyarakat terlibat. Pemahaman yang baik mengenai hak dan tanggung jawab mereka sebagai pemilih sangat penting untuk meningkatkan partisipasi. Lebih lanjut kualitas dan reputasi kandidat memainkan peranan besar dalam menarik minat pemilih. Kandidat yang dianggap kredibel, kompeten, dan memiliki program-program yang relevan dengan kebutuhan daerah akan lebih mampu menarik dukungan. Kemudian dalam upaya membangun budaya politik partisipan di Indonesia khususnya di Kota Cimahi terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi yakni, praktik politik uang masih menjadi masalah di banyak daerah, di mana calon atau tim sukses mungkin memberikan uang atau barang kepada pemilih untuk mendapatkan suara Ini dapat merusak integritas proses Pilkada dan mengurangi kualitas demokrasi. Selain itu meskipun ada minat yang signifikan dalam Pilkada, apatisme politik tetap menjadi masalah. Beberapa masyarakat mungkin merasa bahwa pilihan mereka tidak akan berdampak atau tidak percaya pada sistem politik. Dan terakhir, kurangnya informasi yang akurat dan jelas tentang calon dan programprogram mereka dapat mengurangi kualitas keputusan pemilih. Media sosial dan media massa memiliki peran penting dalam menyebarluaskan informasi, tetapi juga perlu diwaspadai adanya berita palsu atau informasi yang menyesatkan. Namun demikian terdapat upaya yang dapat dilakukan guna membangun budaya politik partisipan di Indonesia khususnya di Kota Cimahi yakni dengan cara meningkatkan program pendidikan politik yang menyasar masyarakat lokal, serta mengadakan sosialisasi yang menjelaskan pentingnya Pilkada dan cara memilih dengan bijak, dapat membantu meningkatkan partisipasi. Selain itu dapat juga dengan memanfaatkan media sosial dan teknologi informasi untuk menyebarluaskan informasi yang akurat tentang calon dan program-program mereka, serta mendorong keterlibatan masyarakat dalam diskusi politik. Budaya politik partisipan dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia mencerminkan tingkat keterlibatan masyarakat dalam proses demokrasi lokal. Meskipun terdapat tantangan yang dihadapi, seperti politik uang dan apatisme, berbagai upaya dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi. Dengan pendidikan politik yang lebih baik dan penggunaan teknologi, diharapkan partisipasi dalam pemilihan (Pilkada) dapat terus meningkat, memberikan dampak positif bagi kualitas demokrasi lokal dan pemerintahan di Indonesia sehingga pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 dapat menjadi sarana untuk membangun budaya politik partisipan khususnya di Kota Cimahi.  

Media Sosial Sebagai Keran Informasi Publik Pemilu dan Pemilihan 2024

Oleh: Charly Siadari Sekretaris KPU Kota Cimahi Perkembangan teknologi informasi mendorong penyebaran informasi melalui beragam platform media sosial, seperti Instagram, Facebook, Twitter, YouTube, dan ragam media sosial lainnya. Media informasi yang bersifat satu arah seperti televisi dan koran semakin ditinggalkan seiring menjamurnya media digital ini. Keunggulan media baru ini terletak interaksi langsung di dunia maya, sehingga audiens atau publik dapat merespon balik secara langsung dan terjadi komunikasi dua arah. Kehadiran media baru ini tentu juga menjadi tantangan bagi penyelenggara pemilu untuk dapat menyuguhkan media komunikasi yang memuat berbagai informasi kepemiluan yang dapat diakses oleh publik secara cepat, mudah dan dapat dipertanggungjawabkan. Terkait dengan hak publik untuk mendapatkan informasi tertuang dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Ketika keran informasi kepemiluan dibuka untuk publik, maka satu langkah untuk sosialisasi, edukasi, pendidikan masyarakat akan kesadaran berpolitik yang sehat, sangat diperlukan, sehingga diharapkan akan meningkatkan partisipasi masyarakat pada pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024. Media sosial sangat tepat dipilih sebagai alat komunikasi kepada masyarakat karena mampu membuka ruang dialog yang memungkinkan terjadinya komunikasi interaktif (komunikasi dua arah) antara penyelenggara dan khalayak secara luas. Untuk itu, media sosial harus mendapatkan prioritas pengelolaan yang serius dan profesional. Ada unsur utama yang harus dipenuhi dalam pengelolaan media sosial, yaitu social engagement (hal-hal yang disukai publik). Menurut Yusran Darmawan, seorang Profesional Digital Strategis, follower (pengunjung) yang tinggi akan memperluas daya jangkau suatu informasi, sehingga semakin efektif pula informasi tersebut akan tersampaikan kepada masyarakat luas. Sebaik apapun penyuguhan informasi melalui media sosial, kalau tidak disukai publik (engagement rendah), maka jumlah follower akan rendah, dan penyampaian pesan tidak tercapai. Dengan demikian, sebagai lembaga formal, maka konten-konten yang dimuat di media sosial KPU harus bersifat informatif dan pengetahuan seperti untuk menyebarluaskan informasi sosialisasi regulasi, pendidikan pemilih, dan edukasi yang diharapkan dapat bermuara pada tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi. Untuk itu, pemberitaan kepemiluan harus dikemas dengan konten-konten digital yang memuat narasi berita, foto kegiatan, video, dan press release kegiatan KPU. Suatu keniscayaan ke depan bahwa peserta pemilu akan menggunakan media sosial sebagai media kampanye utama penyampaian visi dan misi sehingga khalayak dapat mengakses dengan mudah, tidak terbatas ruang dan waktu. Guna menunjang efektivitas pengelolaan media sosial lembaga, dukungan penyediaan sarana dan prasana seperti perangkat komputer, jaringan internet yang kuat atau memadai, dan sumber daya manusia (SDM) di bidang pengelolaan media sosial yang mumpuni serta dukungan anggaran. SOP (Standard Operating Procedure) diperlukan bagi pengelola media sosial untuk mengatur alur konten-konten yang akan dipublikasikan, serta untuk meminimalisir risiko ketidaktepatan dalam pemberitaan. Keberadaan media sosial sebagai keran informasi masyarakat, dalam hal ini sebagai ujung tombak tersampaikannya informasi yang berkualitas kepada masyarakat. Untuk itu, perlu untuk terus memperkuat tim media sosial dalam perencanaan strategi membangun komunikasi dengan memberikan pelatihan secara berkala, terutama dalam konteks pembuatan konten-konten yang menarik untuk pelayanan informasi kepada publik, sesuai dengan visi dan misi lembaga. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga formal tentu saja dalam memberikan layanan informasi kepada publik akan terikat dengan aturan. Sebagai contoh, website KPU akan menampilkan fitur-fitur yang sifatnya formal tentang regulasi, kegiatan-kegiatan rapat, koordinasi dan sosialisasi baik internal maupun eksternal yang berkaitan dengan kepemiluan. Sebagai lembaga formal untuk penyelenggaraan pemilu dan pemilihan sudah pasti akan menitikberatkan pada konten-konten yang resmi, bukan mengedepankan sisi entertainment saja. Tampilan visual yang menarik itu penting, tetapi jangan sampai mendominasi atas pesan yang disampaikan kepada khalayak, sehingga pesannya menjadi bias bahkan tidak tersampaikan kepada publik. Untuk itu, komunikasi internal tim media sosial yang kuat juga sangat diperlukan untuk membangun layanan informasi yang berkualitas kepada khalayak luas sehingga tercipta kepercayaan masyarakat (public trust). Keunggulan penggunaan media sosial sebagai keran informasi publik di era digital saat ini adalah daya penetrasinya di kalangan anak muda yang mendominasi pengguna media baru ini di Indonesia. Namun, seiring derasnya arus berita-berita di media sosial, konten-konten negatif (berita hoaks) yang sifatnya provokatif kerap tidak dapat terhindarkan. Untuk itu, media sosial lembaga harus hadir menjadi saluran terpercaya bagi pengguna. UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik telah mengatur terkait informasi yang mengandung unsur pelanggaran, seperti hate speech (ujaran kebencian), blasphemy (unsur SARA/Suku Agama Ras), fitnah, dan hasutan yang dapat dijerat sanksi hukum. Aturan ini dapat dilengkapi secara internal dengan upaya antisipasi atas keamanan akun media sosial. Kelengkapan ini mencakup perlindungan dan pengawasan atas informasi yang dipublikasikan oleh penyelenggara pemilu kepada khalayak, siapa yang memegang posisi pengawasannya, serta langkah-langkah antisipatif seperti apa untuk menangkal berita-berita hoaks dan kejahatan peretasan akun media sosial penyelenggara pemilu, terutama yang potensial menjadi intens terjadi menjelang pemilu. (*)